Selasa, 04 Agustus 2009

Indonesia (Menuju) Pemisahan Pemilihan Umum Nasional dan Lokal



Judul Buku : REFORMASI PEMILU; Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal
Pengarang : Dr. Ibnu Tricahyo, SH.,MH.
Peresensi: Musfi Efrizal*
Penerbit : In-Trans Publishing
Cetakan : Pertama, April 2009
Tebal : 167 Halaman

Indonesia memiliki sejarah pemilu yang panjang. Upaya untuk mempertahankan kemerdekaan dan pergolakan politik yang menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan menjadikan selama 25 tahun kemerdekaan, pemilu hanya dapat dilaksanakan satu kali. Masa peralihan dari Orde lama (Masa pemerintahan Presiden Soekarno) menjadi Orde Baru (Masa pemerintahan Presiden Soeharto) meskipun berhasil melaksanakan pemilu lima tahunan, namun itu merupakan sejarah pemilu yang kelam, kerena di laksanakan dengan penuh kecurangan demi mempertahankan kekuasaannya. Jatuhnya rezim Orde Baru yang diikuti dengan penyelenggaraan pemilu tahun 1999 dan 2004 serta dilembagakannya Pemilu dalam perubahan UUD 1945 Memberi harapan terhadap kualitas Pemilu di Indonesia, khususnya masyarakat secara keseluruhan.

Pemilihan umum dikonsepsikan sebagai instrument penting untuk manampung aspirasi rakyat, pemilu juga merupakan metode universal digunakan untuk mengisi keanggotaan lembaga perwakilan. Pemilu pun di gunakan untuk memilih Presiden dan Kepala Daerah. Pemilihan sistem pemilu yang diterapkan akan menentukan terstrukturnya hubungan antara pemilih dengan calon dan hubungan wakil dengan rakyatnya. Struktur hubungan inilah yang akan menentukan tingkat responsifitas wakil terhadap aspirasi rakyatnya. Salah satu cara untuk menstrukturkan hubungan antara rakyat dan wakilnya adalah dengan meningkatkan kualitas demokrasi di daerah. Dan juga menata menejemen pemilu dengan cara memisahkan penyelenggaraan Pemilu Lokal dan Nasional.

Menata ulang menejemen pemilu dengan memisahkan Pemilu nasional dan lokal berkaitan erat dengan perubahan politik hukum Otonomi Daerah yang memberikan bobot luas kepada setiap daerah. Sebenarnya wacana pemisahan antar tingkat pemerintahan pernah ada, yaitu pada tahun 1998 saat merancang undang-undang Pemilu untuk Pemilu tahun 1999 dan saat penyusunan undang-undang Pemilu untuk tahun 2004.

Masalah yang timbul justru ketika menejemen pemilu yang diselenggarakan secara serentak secara nasinoal akan terpinggirkannya agenda lokal, kerena akan selalu tertutupi oleh agenda atu masalah nasional. Demikian politisi lokal tidak akan mampu mandiri, karena selalu berada di bawah bayang-bayang politisi nasional.

Di dalam Buku Reformasi pemilu ini, Anies Rasyid Baswedan Mengajukan konsepsi pemisahan pemilu lokal dan nasional. Menurut dia, pemisahahan antara pemilu lokal dan nasional akan mampu menciptakan politisi yang berbasis daerah dan mandiri dari pimpinan nasional serta responsif terhadap aspirasi rakyat di setiap daerah. Dengan kata lain pemisahan antara pemilu akan membebaskan para politisi dan agenda lokal dari politisi dan agenda nasional. Dengan demikian, program otonomi daerah benar-benar berpeluang membangun demokrasi lokal yang berorentasi pada penguatan dan penembangan masyarakat lokal. Dan dengan jalan ini, demokrasi yang dihasilkan merupakan demokrasi yang bisa responsif terhadap kepentingan dan aspirasi rakyat, terutama rakyat yang berada di setiap daerah. Gagasan Anies ini disampaikan dalam tujuh potensi manfaat;
Pertama, Melalui pemisahan itu, rakyat yang memilih bisa membedakan dengan jelas antara politik daerah dan politik nasional.
Kedua, Politisi daerah akan kesulitan untuk sekedar membonceng nama politisi nasional. Dalam pemilu yang di selenggarakan dalam waktu yang bersamaan, politisi daerah cendrung mengangkat isu-isu nasional.
Ketiga, Implikasi institutional dari perubahan itu adalah partai politik dipaksa serius untuk membangun organisasi dan agenda politiknya di tingkat daerah. Agar bisa memperjuangkan agenda lokal, partai politik harus terus menerus memantau persoalan di daerahnya.
Keempat, Terangkatnya isu daerah tersebut dalam arena politik, akan merangsang rakyat agar menyadari hubungan antara masalah keseharian dan proses politik.
Kelima, Kesadaran korelasi antara proses politik dan isu tersebut akan membuat perseterus ideologis yang abstrak dan harus diterjemahkan menjadi kompetisi ideologis yang praktis.
Keenam, Kompetisi ideologis yang praktis tersebut pada gilirannya akan membuat proses politik transaksional, artinya rakyat pemilih tidak hanya memberikan suara pada dukungan pada politisi, tapi juga pada imbalan dalam bentuk kepedulian politisi terhadap kepentingan dan aspirasi rakyat pemilihnya.
Ketujuh, Dengan proses politik transaksional tersebut, kepentingan serta hajat rakyat di tingkat daerah akan diperhatikan.

Kemudian ketentuan dalam undang-undang Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden serta wakil presiden tidak harus dilakukan secara serentak. Artinya antara pemilu lokal dan nasional tidak harus dilakukan secara serentak. Belum lagi keserentakan penyelenggaraan pemilu tersebut akan membuat administrasi pemilu menjadi kian rumit, dan juga rakyat pemilih dihadapkan pada situasi dan pemilihan yang membingungkan. Sebaliknya jika pemilu nasional dipisahkan selang waktu dua setengah tahun dari pemilu lokal, maka tidak hanya kedua kerumitan tersebut akan berkurang akan tetapi akan sangat berguna bagi yang memilih dan dipilih. Khususnya rakyat indonesia secara keseluruhan.

Kiranya buku yang ditulis oleh Dr. Ibnu Tricahyo ini dapat menjadi refrensi mengenai hukum pemilu di Indonesia, dan apabila indonesia mampu merealisasikan ini maka akan terbentuknya politisi daerah yang mandiri, serta politisi nasional yang tetap responsif terhadap aspirasi rakyat di setiap daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar