Senin, 03 Agustus 2009

(Kesaksian Diatas Nisan)


Tubuhmu pucat, matamu tertutup Rapat, serta kain kafan yang terikat erat di sekujur tubuhmu. Hari ini adalah hari terkhir aku memandang wajamu. Wajah yang selalu menghiasi malam-malamku dan wajah yang selalu dapat ku percaya.
Kini engkau telah tiada, dan meninggalkan seberkas kenangan yang tersisa”.

Suatu Malam kita berdua duduk, di pinggiran jalan sambil menghisap ganja yang sedikit tersisa. Kita berdua tertawa, seakan kenikmatan dunia selalu ada untuk kita. Aku dan kamu mempunyai nasib yang sama. Orang tuamu bercerai ketika kamu masih berumur lima tahun, kemudian kamu diasuh oleh pamanmu. Sementara aku tak tahan dengan semua aturan yang telah di buat oleh kedua orang tuaku. Mereka terlalu otoriter, sehingga kebebasanku terbunuh oleh sikap mereka.

Sedari kecil aku tak pernah merasakan kebahagiaan dalam keluargaku, aku selalu mendapat perlakuan keras dari ayahku. Ibuku yang di kenal oleh tetangga sekitar, orang yang Ramah dan suka penolong. Ternyata di rumah Ia tak ubahnya Monster, yang siap memakanku setiap saat. Kata-katanya selalu kasar, dan tak pernah memehami yang aku rasakan.
Belum lagi ketika aku dipaksa menikah dengan orang yang sama sekali tak aku cintai.
Aku menolak, karena usia calon suamiku tersebut jauh lebih tua dariku. Ibuku bilang, kalau aku menikah dengannnya maka masa depanku akan terjamin. Karena memang ia adalah pengusaha kaya.
“Ira! Pokoknya besok kamu harus bertemu dengan calon suamimu, dan jangan pernah kamu mengecewakan Ayah dan Ibu.
Bu, sedari kecil Ira selalu menuruti kata-kata kalian berdua. Tapi untuk yang satu ini Ira tak akan melakukannya. Apa pun konsekuensi yang harus Ira terima.
Kalau kamu tidak mewujudkan ini semua, lebih baik kamu pergi dari sini. Aku tak sudi mempunyai anak sepertimu. Bentak Ibu.
Baik Bu, jika itu yang Ibu inginkan. Ira akan pergi dari rumah ini. Lagi pula Rumah ini bagaikan neraka Bagi Ira.
Ya sudah, sekrang kamu bereskan pakaian kamu. Dan jangan pernah kembali lagi kerumah ini.
Sambil menarik tanganku dengan keras, ibu memaksaku membereskan pakaian. Sementara Ayah hanya mampu melihat, tanpa sedikit pun melakukan pembelaan kepadaku.
“Dasar anak tak tahu diri” itulah kata-kata terakhir yang di ucapkan oleh Ibuku.

Ku susuri setiap jalan, sambil meneteskan air mata. Aku merasa hidup ini tak adil. Mengapa kedua orang tuaku begitu tega berbuat ini semua kepadaku? Dan mengapa kebahagiaan tak pernah aku dapatkan selama ini?
Hingga pada akhirnya aku menemukan “seseorang” yang nasibnya tak jauh berbeda denganku. Yaitu sama-sama mempunyai masalah dengan keluarga.
Awalnya ku kira ia orang jahat, karena penampilannya yang kacau. Namun setelah ku kenal ia lebih jauh. Ia bagaikan “malaikat” yang telah melepaskanku dari kelamnya hidup.

Ku jalani hari-hariku bersamanya, sekalipun ku hu ini tak sesuai. Tapi aku merasa mendapatkan kebebasan yang lama aku impikan. Karena selama ini kebebasanku telah terpenjara.
“Rama, aku lapar”. Keluhku
“Ayo kita cari makan”.
“Tapi Kita kan tak mempunyai uang”
“Maka dari itu kita harus cari”
“Mencuri lagi maksudmu”? aku tak mau mencuri lagi, karena itu akan membahayakan kita berdua.
“Kamu takut”?
“Bukan begitu Rama, aku hanya tak ingin engkau celaka”.
“Begini saja, gi mana kalau kita cari kerja” ajak Rama.
Ya aku setuju.

Setelah seharian berkeliling, akhirnya aku mendapatkan kerja di rumah makan. Sekali pun gaji yang kuterima tak sebanding dengan keringat yang kukeluarkan, namun aku senang kerja di sini, Dari pada mencuri.
Gi mana Ra?
Aku kerja di rumah makan, kamu Rama?
Jadi tukang parkir Ra.
Oh ya berapa uang yang kamu dapatkan hari ini? Tanya Rama.
“Ada sekitar lima puluh ribu”
Aku dapat lima belas ribu, jadi semuanya ada enam puluh lima ribu. Cukup buat kita makan dan membeli ganja.
Ya Rama, kebetulan aku juga lapar.

Narkoba dan hidup di jalanan adalah pelarian yang pas untuk meringankan semua beban yang kita tanggung selama ini.
Aku tak pernah membayangkan jika tak bertemu denganmu, Mungkin aku telah mati.. Engkau adalah satu-satunya bintang yang selalu akan bersinar dalam lubuk hatiku.
“Rama, aku ingin engkau berjanji tak akan pernah meninggalkan aku seorang diri”.
“Janji Apa”?
“Ya pokoknya kamu harus berjanji”.
“Kalau aku tidak mau”
“Pokonya kamu harus mau”, paksaku
Sambil memegang tanganku, Rama mengatakan sesuatu yang ku harap itu tulus dari dasar hatinya.
“Ira, hanya kamu satu-satunya orang yang aku miliki saat ini. Masa depanku hancur, hidupku suram. Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu”. Apa pun akan kulakukan untuk membuatmu bahagia, Tak terkecuali nyawaku.
Ah, sudahlah ayo kita pulang. Ajakku
Pulang ke mana? Tanya Rama”
Ya Kerumah.
Memang kita punya Rumah?
Ya, pasalnya tadi pagi ketika kau masih tidur, sengaja aku mencari sebuah gubuk untuk tempat tinggal kita.
Ngomong-ngomong dari mana kamu mendapatkan uang Ra? Rama bertanya dengan sedikit penasaran.
Ah sudahlah yang penting malam ini kita mempunyai tempat untuk berteduh.
Sebelum kamu menjawab pertanyaanku, aku tak akan beranjak dari sini.
Baiklah, uang itu aku pinjam dari adikku.
Bukankah aku sudah bilang, jangan pernah engkau meminta sesuatu apa pun dari keluargamu. Bentak Rama
“Tapi aku terpaksa Rama”
Kenapa, Kamu sudah tak lagi mempercayai kemampuanku?
Bukan begitu Rama, uang yang kita dapatkan dari hasil kerja tak akan mungkin dapat memenuhi kebutuhan kita. Untuk makan saja kita tak punya.
Lantas?
Aku juga ingin seperti perempuan yang lainnya Rama, memakai pakaian bagus Dan makan yang enak. Hal tersebut tak pernah sekali pun engkau berikan kepadaku”
Ya sudah kalau kamu merasa sudah tak bahagia lagi denganku, pulang sana! Dan jangan pernah kamu berharap akan berteemu aku lagi.
Tidak Rama, jangan pernah engkau ucapkan kata-kata itu lagi. Bersamamu sudah cukup bagiku.
Kalau begitu, jangan lagi kamu lakukan kesalahan untuk kedua kalinya.
Baik Rama, aku janji.

Aku tak mampu memejamkan mata, sekali pun tubuhku terasa sangat lelah. Aku selalu dihantui oleh ketakutan. Aku takut jika Rama, satu-satunya orang yang paling aku cintai selama ini pergi meninggalkanku. Kepada siapa lagi aku akan menyandarkan kegelisahanku, dan siapa lagi yang akan mendengar keluh kesahku.
Sementara aku telah di anggap mati oleh kedua oraang tuaku, semanjak aku memutuskan untuk pergi dari rumah.

Tak sedikit pun penyesalan yang kuarasakan saat ini. Sekali pun kutahu kedua oraang tuaku sudah tak lagi mengaharapkan kehadiranku di tengah-tengah mereka. Asalkan ada Rama di sisiku, semua duka akan hilang. Dan ia pun pernah berjanji akan berusaha sekuat mungkin untuk buatku bahagia.

“Ayo bangun, bagun. Kita kerja, Ajak Rama”
“Kepalaku pusing”
“Kamu sakit Ra”, ayo ke dokter
Ah ngga’ apa-apa Rama, aku hanya sedikit pusing. Pasalnya tadi malam aku tak dapat memejamkan mataku. Kamu saja yang berangkat kerja, aku hanya butuh istirahat”
Ya sudah kalau begitu, aku pergi dulu. Dan jangan kemana-mana sebelum aku pulang”
Baik.

Dalam mimpiku aku melihat Rama melambaikan tangan, seakan ia ingin pergi jauh dariku. Ku lihat tatapan matanya kosong, serta tak ada sedikit pun kesedihan terpancar dari wajahnya.
“Rama!!!! Jangan pergi”
Aku pun terbangun, ku lihat sepi di sekelilingku. Kehampaan terasa, dan tubuhku terasa kaku.
Bagaimana jika semua itu terjadi dalam kehidupan nyataku?
Untuk menenangkan pikiranku, aku pun duduk di pelataran gubuk. Dan kurasakan panasnya sengatan matahari.
Apa yang dilakukan Rama saat ini? “Kasihan dia”
Sedari kecil ia sudah tak merasakan belaian kasih sayang dari kedua orang tuanya, sedangkan pamannya tak mampu membesarkan Rama. Namun semua itu tak membuat Rama menyerah” . tidak seperti diriku yang selalu menangisi masa lalu, dan mengutuk kehidupan.”

“Matahari yang semenjak tadi memancarkan hawa panas, lambat laun bersembunyi di balik awan. Akan tetapi Rama tak kunjung pulang”.
Kegelisahan yang semenjak tadi pagi menyelimutiku semakin menjadi, pulanglah Rama”, cepatlah kembali” aku tak mau ketakutan yang kualami benar-benar terjadi.
Terus kutunggu kedatangan Rama di pelataran gubuk, sampai aku tak kuat lagi menahan sengatan angin malam. Akhirnya aku pun memutuskan menunggu Rama di dalam gubuk.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dengan keras, ternyata itu suara Rama.
“Ira, Ira buka pintunya. Buka.
“Ya tunggu sebentar”
Ya ampun Rama, ada apa denganmu?
Tolong aku Ra, sakit!!!
Apa yang telah engkau lakukan Rama? Mengapa tubuhmu dilumuri darah”?
Tadi aku di tusuk oleh temanku, ia dan beberapa teman-temannya masih mencariku.
Sambil memeluk tubuhku, tak henti-henti nya Rama mengeluh kesakitan.
Hingga pada akhirnya Rama menghembuskan nafas, karena terlalu banyak mengeluarkan darah.
“Rama! Bangun Rama, bangun”
Rama!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

“Tuhan mengapa engkau ambil satu-satunya orang yang aku cintai? Apa yang telah kulakukan? Sehingga cobaan yang engkau berikan tanpa henti. Tuhan jika pun ini telah menjadi suratan takdir bagiku, aku ikhlas. Namun aku sangat berharap dapat bertemu lagi dengan Rama suatu saat nanti”.

“Sambil menangis aku pun mengatakan;
“Rama semoga engaku temukan kebahagiaan yang sesungguhnya di alam sana. telah kulalui suka dan duka bersamamu wahai belahan jiwaku. Engkau adalah persembahan tuhan yang terbaik, yang pernah kurasakan. Hati, jiwa, serta pikiranku telah terkubur bersamamu. Ia akan menemanimu dalam kesendirian.
“Rama, engkau telah lantunkan nyanyian yang termerdu. Yang tak mungkin dapat di lantunkan oleh orang lain. Engkau telah hembuskan ribuan nafas cinta, yang tak mungkin dapat dihembuskan oleh yang lain. Hidupku hanyalah untukmu Rama, hanya untukmu. Sampai kelak aku menyusulmu”.
“Itulah kesaksianku di atas nisanmu”.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar